PALU,netiz.id — Komitmen terhadap pelestarian budaya dan pengembangan kreativitas anak muda kembali ditunjukkan oleh Fathur Razaq Anwar. Tokoh Pemuda Sulawesi Tengah yang dikenal aktif dalam berbagai gerakan sosial dan kebudayaan ini menggagas sebuah proyek monumental: merilis ulang tujuh lagu legendaris karya maestro seni budaya Sulteng, Hasan Bahasyuan.
Sebagai produser eksekutif, Fathur Razaq Anwar tak hanya mendanai, tetapi juga mengawal langsung proses kreatif hingga konsep besar proyek ini. Bekerja sama dengan Hasan Bahasyuan Institute (HBI) dan grup musik lokal The Mangge, ia berharap proyek ini menjadi jembatan antara warisan budaya masa lalu dan generasi masa kini.
“Sulawesi Tengah memiliki kekayaan intelektual yang luar biasa, tetapi belum banyak yang memberi perhatian serius. Inilah bentuk kepedulian saya agar budaya kita tidak hanya dikenal secara lokal, tapi bisa bersaing di tingkat global,” ujar Fathur dalam konferensi pers bertajuk a(R)tribut yang digelar di Kampung Nelayan, Palu, Selasa (10/06/25).
Proyek ini bukan hanya soal musik, tetapi juga diplomasi budaya. Fathur menekankan pentingnya menjadikan seni sebagai wajah baru Sulawesi Tengah yang selama ini lebih dikenal karena kekayaan sumber daya alamnya.
Di bawah kepemimpinan kreatifnya, proyek ini dirancang dalam beberapa tahap: riset dan dokumentasi dari Juli hingga September 2025, produksi serta showcase nasional pada Oktober–Desember 2025, dan dilanjutkan dengan tur internasional serta distribusi digital sepanjang Januari hingga Mei 2026.
Direktur HBI, Zul Fikar Usman, menyebut proyek ini sebagai langkah strategis. “Tanpa sosok seperti Fathur Razaq, mungkin proyek ini akan sulit terealisasi. Ia membawa energi dan visi besar untuk mengangkat budaya Sulteng ke panggung lebih luas,” kata Zul.
Tujuh lagu yang akan diaransemen ulang meliputi Palu Ngataku, Randa Ntovea, Kaili Kana Ku Tora, Putri Balantak, Posisani, Poiri Ngoviana, dan Salandoa. Dalam proses produksinya, proyek ini juga melibatkan musisi dari sanggar seni, paduan suara, hingga orkestra dari berbagai daerah di Sulawesi Tengah. Karena keterbatasan fasilitas rekaman di Palu, produksi dilakukan di luar daerah dan diperkirakan rampung dalam 30 hari.
Dengan visi yang kuat dan langkah yang konkret, Fathur Razaq Anwar tak hanya menghidupkan kembali karya-karya Hasan Bahasyuan, tetapi juga memperkuat identitas budaya Sulteng di tengah arus globalisasi. Proyek ini menjadi bukti nyata bahwa budaya bisa menjadi kekuatan, bukan sekadar warisan. (*)