BOGOR,netiz.id – Sebagai langkah penanggulangan bencana banjir dan tanah longsor di Kabupaten Bogor, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menertibkan empat vila di kawasan Puncak, Kabupaten Bogor, pada Minggu (09/03/25).
Penertiban ini dilakukan karena vila-vila tersebut berada di dalam Kawasan Hutan Produksi Terbatas, sebagaimana diatur dalam Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) Kabupaten Bogor Nomor 1 Tahun 2024.
Direktur Bina Perencanaan Tata Ruang Daerah Wilayah I Kementerian ATR/BPN, Rahma Julianti, menegaskan bahwa pihaknya bersama KLHK terus berkomitmen memastikan pemanfaatan ruang sesuai dengan peruntukannya.
“Bersama dengan Kementerian Kehutanan, kami terus memastikan bahwa pemanfaatan ruang di kawasan Puncak sesuai dengan Rencana Tata Ruang yang telah ditetapkan,” ujar Rahma Julianti usai penertiban berlangsung.
Keempat vila yang ditertibkan merupakan bagian dari 15 vila yang berada di kawasan hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung dan terindikasi melanggar aturan tata ruang. Vila yang ditertibkan antara lain Villa Forest Hill, Vila Sifor Afrika, Villa Cemara, dan Villa Pinus.
Direktur Penindakan Pidana Kehutanan KLHK, Rudianto Saragih Napitu, menegaskan bahwa pihaknya akan melakukan klarifikasi dan penilaian lebih lanjut terkait perizinan pendirian vila-vila tersebut. Ia juga menyatakan bahwa dalam waktu dekat, penertiban akan diperluas ke DAS Bekasi dan DAS Cisadane.
“Dalam beberapa waktu ke depan, kegiatan penertiban ini juga akan diperluas hingga mencakup DAS Bekasi dan DAS Cisadane sebagai bagian dari upaya mitigasi bencana banjir akibat pembangunan liar di kawasan hutan,” ujarnya.
Sementara proses penelitian masih berlangsung, keempat vila tersebut telah diberikan surat peringatan dan dipasangi plang penertiban. ATR/BPN dan KLHK juga akan terus melakukan sosialisasi serta pembinaan kepada pengelola vila dan masyarakat sekitar agar penertiban ini dapat dipahami secara menyeluruh.
Langkah ini diharapkan dapat menjadi upaya nyata dalam menekan risiko bencana akibat alih fungsi lahan yang tidak sesuai dengan ketentuan tata ruang. (*)