DONGGALA,netiz.id — Perusahaan kelapa sawit yang beroperasi di Kecamatan Rio Pakava, Kabupaten Donggala, dipersoalkan oleh warga dari tiga desa yang merasa lahannya telah dikuasai secara sepihak. Perwakilan warga dari Desa Minti Makmur, Desa Polanto Jaya, dan Desa Bukit Indah mendatangi Komisi I DPRD Donggala untuk mengadukan persoalan tersebut.
Ketua Komisi I DPRD Donggala, Muhammad Irfan, membenarkan adanya aduan tersebut. Ia mengatakan, kedatangan perwakilan warga turut dihadiri oleh tiga kepala desa, yakni Kasmudin (Kepala Desa Minti Makmur), Sutiman (Kepala Desa Polanto Jaya), dan Sukarjoni (Kepala Desa Bukit Indah).
“Iya, benar. Ada warga dari Kecamatan Rio Pakava, terdiri dari tiga kepala desa, yang datang mengadukan masalah lahan mereka yang dikuasai perusahaan kelapa sawit,” ujar Irfan saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (03/02/25) sore.
Menurut Irfan, berdasarkan keterangan para kepala desa, penguasaan lahan oleh perusahaan sawit tersebut sudah terjadi sejak lama dan berulang kali. Warga menduga perusahaan memperluas area Hak Guna Usaha (HGU) mereka hingga masuk ke lahan milik warga tanpa kejelasan batas yang sah.
“HGU yang dimiliki perusahaan sawit bertambah luas. Mereka menyampaikan kepada kami bahwa HGU perusahaan telah masuk ke lahan milik warga,” jelas politisi Partai Golkar itu.
Lebih lanjut, Irfan menyebutkan adanya bukti sertifikat tanah yang dibawa warga sebagai dasar aduan mereka. Salah satunya dari Desa Polanto Jaya, di mana dalam sertifikat tercatat luas lahan sebesar 1.300 hektare. Namun setelah dilakukan penghitungan ulang, luasnya berkurang menjadi 1.090 hektare. Artinya, sekitar 200 hektare lahan diduga telah dikuasai perusahaan dan masuk dalam wilayah HGU.
“Berdasarkan sertifikat yang mereka bawa, ada selisih sekitar 200 hektare yang dikuasai perusahaan sawit. Ini menjadi dasar aduan mereka kepada kami,” tambahnya.
Atas persoalan ini, warga meminta DPRD Donggala untuk memfasilitasi mediasi dengan Badan Pertanahan Nasional (BPN) Donggala, yang mengeluarkan sertifikat lahan tersebut.
“Mereka meminta agar dimediasi dengan BPN yang mengeluarkan sertifikat. Permintaan ini akan kami teruskan ke pimpinan DPRD, dan selanjutnya akan dilakukan rapat dengar pendapat (RDP) dengan pihak pertanahan untuk membahas proses terbitnya sertifikat tersebut,” tutup Irfan. (KB/*)