Menu

Mode Gelap

Daerah · 23 Mar 2025

Aristan Soroti Dampak PLTU Captive PT. IHIP di Morowali


					Wakil Ketua I DPRD Sulteng, Aristan hadir dan jadi Penanggap pada diskusi publik peluncuran hasil riset WALHI Sulteng, Minggu (23/03/25), di Hotel Jazz, Palu. FOTO: istimewa Perbesar

Wakil Ketua I DPRD Sulteng, Aristan hadir dan jadi Penanggap pada diskusi publik peluncuran hasil riset WALHI Sulteng, Minggu (23/03/25), di Hotel Jazz, Palu. FOTO: istimewa

PALU,netiz.id I DPRD Sulawesi Tengah, , angkat suara soal dampak serius pembangunan PLTU Captive milik PT. Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) di Morowali. Hal itu disampaikannya saat menghadiri diskusi publik hasil WALHI Sulteng, Minggu (23/03/25), di Jazz, Palu.

Diskusi yang juga dirangkaikan dengan buka puasa bersama itu menghadirkan sejumlah penanggap, termasuk Aristan, Bondan Andriyanu dari Greenpeace Indonesia, dan Richard Labiro dari Yayasan Tanah Merdeka.

Aristan menilai, program hilirisasi nikel yang selama ini digadang-gadang untuk mendukung kendaraan ramah lingkungan, ternyata menyimpan masalah besar di lapangan.

“Di satu sisi dibilang untuk mengurangi polusi dan mendukung transisi energi bersih, tapi faktanya justru bikin lingkungan rusak dan warga terdampak,” kata Aristan.

Berdasarkan hasil riset WALHI, kehadiran PLTU Captive di kawasan PT. IHIP telah menyebabkan polusi udara, kerusakan pertanian, hingga masalah kesehatan warga. Di Desa Vatuvia misalnya, debu batu bara dari PLTU menjadi ancaman serius. Debu ini tak hanya bikin sesak napas, tapi juga merusak rumah warga.

Data dari Puskesmas Petasia Timur menyebut ada 1.750 kasus ISPA di 10 desa. Warga di Desa Tanauge bahkan mengalami penyakit kulit yang sulit sembuh. Lokasi PLTU yang hanya berjarak 100–200 meter dari rumah warga memperparah situasi.

Di sektor pertanian, sawah warga di Desa Topogaro tak lagi bisa digarap setelah irigasi ditimbun untuk pembangunan industri. Total sekitar 170 hektare sawah terdampak.

Sementara di wilayah pesisir, 115 nelayan di Desa Parilangke dan Bahonsuai kehilangan mata pencaharian karena areal budidaya rumput laut mereka tertimbun . Tak hanya itu, sekitar 30 hektare hutan mangrove juga ikut rusak padahal itu habitat monyet khas Sulawesi.

Parahnya lagi, aktivitas penimbunan dilakukan tanpa izin reklamasi dan dokumen pemanfaatan ruang laut (PKKPRL).

Menanggapi kondisi ini, Politisi NasDem Sulteng itu menyebut DPRD melalui Komisi III sudah turun langsung ke lapangan sejak Desember 2024. Mereka juga bertemu pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup, serta menggelar rapat kerja dengan instansi terkait di daerah.

Namun sayangnya, beberapa yang dihasilkan belum ditindaklanjuti. Karena itu, DPRD Sulteng tengah mendorong pembentukan panitia khusus (Pansus) agar masalah ini mendapat perhatian serius.

“Ke depan, kita perlu konsolidasi lebih luas. Libatkan perguruan tinggi, para ahli, dan yang paling penting: kuatkan gerakan masyarakat di Morowali. Mereka tidak boleh dibiarkan berjuang sendiri,” tegas Aristan. (KB/*)

Artikel ini telah dibaca 15 kali

badge-check

Writer

Baca Lainnya

Fraksi Amanat Solidaritas Soroti Proyeksi Pendapatan dan Pengembangan Pariwisata di Kota Palu

12 Juli 2025 - 16:36

Rini Haris

Komitmen Gubernur Sulteng Lewat Program BERANI Tangkap Banyak

12 Juli 2025 - 16:16

Gubernur Sulawesi Tengah, H. Anwar Hafid,

DPRD Palu Dorong RPJMD Responsif Gender dan Ramah Anak

12 Juli 2025 - 16:00

Mutmainah Korona

Kerajinan Sulteng Curi Perhatian di Perayaan HUT Dekranas di Balikpapan

12 Juli 2025 - 09:50

Dekranasda Sulteng

Gubernur Sulteng Terima Audiensi SEPASI Bahas Pengembangan Sorgum di Donggala

12 Juli 2025 - 08:57

Gubernur Sulteng, Anwar Hafid

Gubernur Sulteng Terima Audiensi Asosiasi Dealer, Bahas Perpanjangan Insentif Pajak Kendaraan

11 Juli 2025 - 21:43

Gubernur Sulteng, Anwar Hafid
Trending di Daerah