PALU,netiz.id — Wakil Ketua I DPRD Sulawesi Tengah, Aristan, angkat suara soal dampak serius pembangunan PLTU Captive milik PT. Indonesia Huabao Industrial Park (IHIP) di Morowali. Hal itu disampaikannya saat menghadiri diskusi publik peluncuran hasil riset WALHI Sulteng, Minggu (23/03/25), di Hotel Jazz, Palu.
Diskusi yang juga dirangkaikan dengan buka puasa bersama itu menghadirkan sejumlah penanggap, termasuk Aristan, Bondan Andriyanu dari Greenpeace Indonesia, dan Richard Labiro dari Yayasan Tanah Merdeka.
Aristan menilai, program hilirisasi nikel yang selama ini digadang-gadang untuk mendukung kendaraan listrik ramah lingkungan, ternyata menyimpan masalah besar di lapangan.
“Di satu sisi dibilang untuk mengurangi polusi dan mendukung transisi energi bersih, tapi faktanya justru bikin lingkungan rusak dan warga terdampak,” kata Aristan.
Berdasarkan hasil riset WALHI, kehadiran PLTU Captive di kawasan PT. IHIP telah menyebabkan polusi udara, kerusakan lahan pertanian, hingga masalah kesehatan warga. Di Desa Vatuvia misalnya, debu batu bara dari PLTU menjadi ancaman serius. Debu ini tak hanya bikin sesak napas, tapi juga merusak rumah warga.
Data dari Puskesmas Petasia Timur menyebut ada 1.750 kasus ISPA di 10 desa. Warga di Desa Tanauge bahkan mengalami penyakit kulit yang sulit sembuh. Lokasi PLTU yang hanya berjarak 100–200 meter dari rumah warga memperparah situasi.
Di sektor pertanian, sawah warga di Desa Topogaro tak lagi bisa digarap setelah irigasi ditimbun untuk pembangunan jalan industri. Total sekitar 170 hektare sawah terdampak.
Sementara di wilayah pesisir, 115 nelayan di Desa Parilangke dan Bahonsuai kehilangan mata pencaharian karena areal budidaya rumput laut mereka tertimbun proyek. Tak hanya itu, sekitar 30 hektare hutan mangrove juga ikut rusak padahal itu habitat monyet khas Sulawesi.
Parahnya lagi, aktivitas penimbunan dilakukan tanpa izin reklamasi dan dokumen pemanfaatan ruang laut (PKKPRL).
Menanggapi kondisi ini, Politisi NasDem Sulteng itu menyebut DPRD melalui Komisi III sudah turun langsung ke lapangan sejak Desember 2024. Mereka juga bertemu pejabat di Kementerian Lingkungan Hidup, serta menggelar rapat kerja dengan instansi terkait di daerah.
Namun sayangnya, beberapa rekomendasi yang dihasilkan belum ditindaklanjuti. Karena itu, DPRD Sulteng tengah mendorong pembentukan panitia khusus (Pansus) agar masalah ini mendapat perhatian serius.
“Ke depan, kita perlu konsolidasi lebih luas. Libatkan perguruan tinggi, para ahli, dan yang paling penting: kuatkan gerakan masyarakat di Morowali. Mereka tidak boleh dibiarkan berjuang sendiri,” tegas Aristan. (KB/*)